Keluarga, sebagai Solusi Pemerataan Ekonomi Abstraksi Salah satu problema ekonomi yang pokok pada saat ini terletak pada pembagian kekayaan ( distribusi ) dan penggunaannya bagi rakyat. Dengan kata lain, problem ekonomi yang utama itu sebenarnya terletak pada cara pembagian ( distribusi ) dan pemerataan kekayaan. Sistem ekonomi ( kapitalis ) yang hanya memperhatikan tingkat pertumbuhan ( economic growth ) serta terpaku pada angka-angka pendapatan perkapita ( GNP ) terbukti hanya akan menghasilkan kesenjangan global yang memprihatinkan. Sementara harapan terhadap " tetesan rejeki " ( trickle down effect ) tinggal hanya harapan yang tak kunjung tiba. Apa boleh buat, sistem kapitalis pun gagal memecahkan problem mendasar ekonomi ini. Sistem ekonomi sosialis, lebih tidak mungkin lagi diharapkan. Sistem ekonomi berbasiskan sama rata, sama rasa ini jelas utopis dalam realisasinya. Fitrah kepemilikan seorang manusia dinafikan dalam sistem ini. Semua harta pada galibnya adalah milik negara, ungkap mereka. Sehingga rakyat tidak boleh memiliki kekayaan pribadi kecuali yang telah diberikan oleh negara. Maka mimpi Lenin, Stalin dan juga Pol pot harus kandas di tangan-tangan para pendukungnya sendiri. Lalu adakah Alternatif sistem pemerataan ekonomi lainnya ? Dialog Utama edisi ini akan menyoroti fungsi keluarga dalam Islam yang teryata apabila dilakukan secara konsekuen ( oleh tiap individu muslim ) dan dijamin oleh negara ( di Undang-Undang-kan ) maka pemerataan ekonomi bukan mustahil akan tercipta. Tidak lupa kami juga mensurvei banyak keluarga-keluarga muslim di masyarakat guna mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sistem keluarga tersebut. Semua ini dilakukan oleh Tim Riset dan Data Dialog dengan harapan dapat memperkuat dan membuat lebih fokusnya pokok bahasan kali ini. Dan tentu saja harapan kami adalah agar anda puas tentunya . Selamat menyimak ! Komentar pertama datang dari Sdr. Burhanuddin Ahmad SE. Sarjana Ekonomi lulusan STEI , Jakarta ini berpendapat bahwa perkawinan dalam Islam adalah dalam rangka memenuhi perintah-perintah Allah. Dalam kehidupan suami istri, masing-masing akan berpotensial untuk dapat mengerjakan perintah-perintah Allah. Mereka pun bisa bekerja sama , bahu-membahu dalam mengerjakan perintah Allah itu. Di samping itu keluarga juga sangat penting dalam rangka membentuk keturunan, generasi-genersai Islam nanti. Sewaktu ditanyakan kepada beliau tentang masalah peranan nafkah dalam keluarga , maka Bapak dari dua orang putri dan seorang putra ini menyatakan bahwa, memberikan nafkah itu merupakan kewajiban dari sang Ayah kepada istri dan anaknya juga yang memang patut untuk diberi nafkah, yaitu saudara-saudara yang lainnya. Mengomentari pertanyaan sekitar krisis ekonomi yang sedang terjadi akhir-akhir ini serta hubungannya dengan funsi tolong-menolong antar sesama keluarga, Beliau yang juga aktif membina Kelompok KEIS ( Kajian Ekonomi Islam Strategis ) di STEI ini menyatakan sangat prihatin. Karena menurut beliau sebenarnya tolong-menolong antar sesama keluarga itu tidak hanya wajib dilakukan pada saat krisis saja. Dalam kondisi normal sekalipun sebenarnya syariat Islam mewanti-wanti kepada kita , kaum muslimin untuk selalu memperhatikan keluarga kia yang patut mendapatkan pertolongan. Kita harus saling membagi sharing ( keuntungan, red ) kepada saudara-saudara kita yang lainnya. Apalagi dalam kondisi krisis seperti sekarang ini, lanjutnya pula. Dan tentu saja besarnya bantuan itu sangat tergantung sekali kepada kemampuan keluarga yang mau membantu tersebut.Artinya sedapat mungkin pemberin itu juga diprioritaskan kepada yang betul-betul membutuhkannya. Sewaktu ditanyakan tentang realisasi tolong menolong pada masa sekarang, maka beliau yang juga aktif di pengajian Islam KIN ( Kajian Islam Nike ) di kantornya, menjawab bahwa hal itu masih sraing terjadi dalam masyarakat. Artinya masyarakat muslim sebenarnya masih berkeyakinan bahwa membantu saudaranya itu dalam kesulitan adalah suatu kewajiban. Hanya saja ada beberapa kendala yang cukup menyulitkan sehingga hal itu bisa terjadi. Salah satu kendala menurut beliau adalah persoalan komunikasi yang sulit , terutama di Jakarta. Geliat perekonomian kadangkala telah menjadikan kita-kita sebagai manusia ekonomi saja, dan lupa komunikasi dengan keluarga yang lain. Ini yang menurut beliau perlu diwaspadai. Kendala lain menurut beliau adalah adanya sikap dari sebagian masyarakat kita untuk diam saja kalau memiliki masalah atau kesulitan. Dengan berbagai macam alasan mereka lebih memilih diam dantidak berhubungan dengan keluarga. Untuk perlu uang misalnya, karena malu mereka lebih suka meminjam uang kepada rentenir yang jelas bersistem riba, ketimbang kepada saudaranya yang lebih mungkin diberikan begitu saja ( tidak perlu membayar lagi ). Mereka mungkin menganggap kesulitan itu adalah suatu "aib" dalam keluarga yang lain. Menjawab perlu tidaknya hukum-hukum kekeluargaan itu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, beliau berkomentar bahwa sudah saatnya tanggung jawab sosial ini direalisasikan. Menurutnya kalau dalam sistem Islam, tentu saja negara yang akan menjaminnya pelaksanaan dari hukum-hukum tadi. Kalau untuk kondisi sekarang , paling tidak bisa dilakukan sosialisasi pemahaman tentang fungsi keluarga untuk menjawab masalah sosial ekonomi di masyarakat. Hal ini akan mendorong kaum muslimin untuk menjalankan kewajibannya ! Begitu beliau mengakhiri perbincangan dengan redaksi . Pendapat berikutnya keluar dari Jebolan D3 Ekonomi UGM, Yogyakarta, yaitu Sdri Purnamasari. Menurutnya, hakikat perkawinan adalah dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah , penuh mawaddah dan rohmah. Di samping itu, perkawinan juga merupakan suatu usaha untuk melanjutkan garis keturunan manusia, dan diharapkan dari keturunan tersebut terlahir generasi-generasi yang mengerti hakekat dirinya sebagai manusia di hadapan Sang Pencipta. Singkatnya, generasi yang akan dihasilkan secara ideal harus dibentuk agar memiliki Syakhshiyyah ( kepribadian ) yang Islami. Melihat kondisi saat ini, Beliau yang juga aktif dalam aktivitas dakwah dan saat ini menggeluti Bidang Riset dan Data Kesuma ( Kelompok Studi Muslimah ) menyatakan bahwa fungsi keluarga belum cukup optimal dilaksanakan. Yang mana apabila fungsi tersebut optimal, misalnya dengan seringnya silaturrahim dan saling tolong menolong diantara mereka, maka bukan tidak mungkin terealisasi kehidupan ekonomi yang lebih baik. Seharusnya keluarga lebih aktif , bersama-sama dengan ummat ( masyarakat--red ) menciptakan terobosan-terobosan guna melahirkan generasi muslim yang kuat dan dinamis. Beliau juga menambahkan akan perlunya pemahaman yang mendalam terhadap fungsi keluarga dan masyarakat di masyarakat kita, agar realisasi dari kehidupan yang sejahtera itu baru akan tercapai. Menurutnya pula, perkawinan yang di Barat sudah dianggap barang rongsokan, karena orang-orang Barat tidak memahami dan keliru dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Mereka terlalu individualistis. Lihat saja kehidupan mereka, dan obsesi mereka. Mereka malas untuk berkeluarga, punya anak dan mengurus anak. Maka hancurlah kehidupan keluarga. Kalaupun sudah sempat berkeluarga, paling-paling tidak akan bertahan lama. Perceraian adalah masalah yang sudah biasa bagi masyarakat sana. Mereka tidak begitu menghargai arti sebuah keluarga, silaturrahim apalagi saling tolong menolong di antara mereka. Hal itu tentu sangat berbeda dengan masyarakat kita yang masih kuat memegang arti persaudaraannya. Tapi di masyarakat kita bukan berarti nilai-nilai tersebut tidak bisa luntur, apalagi dengan adanya serangan kebudayaan seperti sekarang ini. Maka menurut beliau, yang juga pernah menjabat sebagai Kabid An-Nisaa SKI Al -Mizan FE-UGM ini-yang terpenting adalah menjaga pemahaman yang benar tentang keluarga lalu menyebar luaskannya dan tentu saja merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang perlu untuk dipikirkan dan direalisrkan, begitu tandasnya ! Apakah sistem keluarga perlu di UU-kan , agar pemerataan ekonomi bisa terjadi ? Menjawab masalah ini, beliau mengatakan bahwa dalam Islam sebenarnya sudah ada hukum-hukum syariat yang menjelaskan tentang masalah ini. Artinya, kalau seorang muslim memahami fungsi keluarga dan dia taqwa kepada Allah SWT, maka secara otomatis dia akan menjalankan fungsi-fungsi keluarga tadi. Hanya saja, negara memang perlu untuk campur tangan dengan maksud menjamin kepastian hukum agar terlaksananya aturan-aturan tadi. Dalam masyarakat Islam, menurut beliau sudah pasti negara akan menjamin hal di atas. Bahkan negara boleh saja menberikan sangsi kepada setiap individu--siapa saja--yang melanggar hukum tentang keluarga, khususnya kewajiban memberikan nafkah kepada yang menjadi tanggungannya. Pada kondisi sekarang tentu saja akan sulit bagi kita untuk menemuinya. Walaupun itu bukan alasan untuk tidak mensosialisasika hukum-hukum tentang masalah ini bagi masyarakat muslim. Begitu beliau memberikan penjelasan terakhirnya kepada Dialog. Selanjutnya Dialog juga berkesempatan mewawancarai Ustadz Abdullah Marzuki yang berdomisili di kota santri Jember. Dalam menjawab pertanyaan Dialog seputar masalah keluarga-Ustadz yang telah dikaruniai dua orang putra ini-menjawabnya dengan sangat antusias dan bersemangat. Menurutnya fungsi keluarga sudah saatnya untuk dioptimalkan dan diterapkan dengan konsekuen. Kita jangan sampai terpengaruh dengan kaum feminist yang sudah merasa tidak perlu lagi dengan adanya keluarga. Menurut beliau itu adalah pemikiran atau ide yang sangat berbahaya dan bertentangan dengan Islam. Islam melarang ummatnya untuk mengadopsi ide-ide semacam ini , kata beliau sambil mengutip firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 85. ( " Barang siapa mencari agama selain Islam , maka sekali-kali tiadalah akan diterima agamanya itu dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi /masuk neraka--red ! ). Ustadz --yang juga pernah menjadi Wakil Kepala Sekolah Al-Irsyad , Bondowoso ini juga mengomentari bahwa keluarga dalam Islam selain untuk melestarikan keturunan dan memenuhi kebutuhan naluri seksual manusia, keluarga juga berkonsekuensi persaudaraan ( silaturrahim ) yang apabila penggunaannya optimal, maka akan mampu memecahkan probelm-problem ekonomi yang ada. Misalnya apabila salah seorang dari keluarga kita berkecukupan, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menolong dan membantunya. Yah...dengan cara apa saja, yang penting halal dan ma’ruf. Lalu ketika ditanyakan tentang adanya anggapan bahwa kalau membantu keluarga--bisa dikira nepotisme, maka Ustadz yang juga aktif dalam Kelompok Kajian Islam Masjid Al-Ikhwan-Jember ini -memberikan pembedaan ! Yang tidak boleh dalam Islam itu apabila Kekuasaan ( pemerintahan ) memberikan hak-hak yang " lebih " kepada pihak keluarga nya sendiri. Hak-hak yang lebih ini merupakan keistimewaan dalam bidang apa saja. Bisa uang, fasilitas maupun yang lainnya. Ini yang dilarang dalam Islam. Misalnya ketika Muawiyyah khalifah Islam pertama dari Bani Umayyah memberikan kekuasaan pemerintahan langsung kepada anaknya Yazid tampa melalui pemilihan dan bai’at terlebih dahulu oleh rakyat. Ini yang jelas dilarang. Sedangkan membentu keluarga dalam Islam adalah suatu kewajiban. Apalagi apabila keluarga itu tidak mampu dan memang termasuk dalam tanggungan kita. Selanjutnya Sarjana Pendidikan tamatan FKIP , Univ. Jember , ini mengharapkan adanya usaha serius dari kaum muslimin untuk merealisir peranan keluarga dalam masyarakat. Karena menurut beliau apabila masalah ini bisa ditangani secara serius, maka beberapa problem sosial dan ekonomi yang terjadi , Insya Allah akan terjawab. Keuarga menurutnya jangan hanya dijadikan sebagai simbol saja, dan bertemu sewaktu lebaran saja. Mereka harus lebih intensif bersilaturrahmi dan saling tolong menolong. Bukankah banyak ayat-ayat Allah yang memerintahklan dua aktivitas tadi. Hanya yang juga perlu diingat, ikatan kekeluargaan tidak boleh berubah menjadi ikatan fanatisme yang kemudian melahirkan sistem aturan baru yang bertentangan dengan syariat. Karena Allah SWT menjadikan sistem kekeluargaan itu dengan fungi-fungsi yang sudah jelas, yaitu, kekerabatan dan pelestari keturunan. Tidak boleh sebuah negara, misalnya, dibangun dengan asas kekeluargaan dan menerapkan aturan-aturannya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan keluarga tersebut. Hal yang demikian sangat dilarang dalam Islam. Namun Islam memerintahkan agar senantiasa melakukan hubungan dan bersilaturrahim dengan para kerabat serta berbuat baik terhadap mereka. Melengkapi keterangannya ini-Ustadz yang dulunya juga aktif dalam Lembaga Dalwah di kampusnya-menyitir salah sebuah hadist Rosul yang menceritakan tentang perlunya mempererat persaudaraan. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, siapa yang paling berhak menerima perbuatan baik yang kulakukan, maka beliau menjawab : " Ibumu, kemudian Bapakmu, Lalu saudara perempuanmu, baru saudara laki-lakimu". Dan masih banyak lagi hadist-hadist lain yang menunjukkan dorongan untuk melakukan silaturrahim. Sedangkan silaturrahim itu sendiri menunjukkan sejauh mana hubungan kasih sayang antara jamaah Islam yang telah disyariatkan oleh Allah SWT, begitu juga dalam hubungan kekerabatan satu dengan yang lainnya, sekaligus saling bekerja sama dan tolong menolong diantara mereka. Dengan demikian apabila fungsi silaturrahim ini benar-benar diterapkan dan dioptimalkan penerapannya, maka dia akan mampu mengatasi problematika ekonomi, dan pemerataannya-paling tidak dalam skala yang terkecil , yaitu antar keluarga. Namun hasilnya bisa dibayangkan, bila seluruh keluarga-keluarga itu saling membantu dalam urusan ekonomi mereka, maka beban ekonomi negara akan sedikit terkurangi untuk lebih difokuskan kepada urusan yang lainnya. Inilah mekanisme sistem ekonomi Islam yang mulia tersebut. Sekarang tergantung kita, ujar beliau. Apakah berkeinginan menerapkan syariat yang mulia tersebut ? Atau masih silau dan terpedaya dengan sistem ekonomi kapitalis yang mulai menampakkan kebobrokannya ? Tepat sekali kiranya tawaran dari Ustadz Marzuqi di atas. Hal ini mengingat pada masyarakat kita sebenarnya telah terdapat akar yang kuat mengenai masalah keluarga ini. Tim Riset dan Data Dialog setelah melakukan survei ke berbagai kota dan daerah di Jawa, menemukan bukti masih kuatnya unsur-unsur persaudaraan diantara mereka. Sewaktu diajukan quesion mengenai hubungan silaturrahim diantara mereka, baik melalui kunjungan, telephone, surat dan lainnya, maka jawaban dari sekitar 3.300 responden yang ditanyakan, 69,7 % nya atau sejumlah 2.300 orang menyatakan sering sekalli mengadakan silaturrahim. 24,2 % ( 8.000 responden ) menyatakan cukup sering dan hanya 6,1 % saja ( 2.000 orang ) yang menyatakan kurang/kadang-kadang melakukan silaturrahim. Dari responden yang sama juga menyatakan kesiapannya dan pemahamannya untuk menanggung nafkah dan waris sesama saudara mereka. 30,3 % sangat memahami kewajiban tersebut. 48 ,5 % menyatakan cukup memehami dan bertanggung jawab terhadap kewajibannya. dan 21,2 % saja yang menyatakan kurang memahami tanggung jawabnya ! ( lihat grafik-red ). Selanjutnya para responden dengan sangat antusias mendukung apabila hubungan kekeluargaan ini dioptimalkan, misalnya melalui jaminan dari negara ( di -UU-kan ). Hal ini mengingat tampa adanya sanksi hukum dari negara maka kewajiban memberikan nafkah antar saudara kurang dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini akan berbeda sekali apabila negara pun ikut menjamin hukum-hukum tersebut. Sehingga pemerataan ekonomi berbasis keluarga betul-betul bisa tercapai. Sebanyak 2.300 responden ( 69,7 % ) menyatakan setuju sekali apabila sistem keluarga dipakai sebagai cara pemerataan ekonomi. 900 responden ( 27,3 % ) nya menyatakan setuju dengan hal di atas. Dan hanya 100 responden saja ( 3 % ) yang menyatakan abstain dengan pendapat di atas. Semua ini menunjukkan keinginan yang kuat akan pemberdayaan sistem keluarga guna penerapan pemerataan ekonomi. Dialog juga berkesempatan mewawancarai Ustadz Lukman Nul Hakim , yang aktif membina Remaja Masjid Besar, Baitul Amin, Jombang. Menurut beliau kehidupan sosial dewasa ini telah mengalami deradasi. Terutama di Barat, yang nilai-nilai sekuler dan individualistisnya kuat. Di negara Timur, terutama negara-negara yang mayoritas terdapat kaum muslimin di sana, ikatan keluarga cukup kuat dan masih mengakar. Sebagai contohnya beliau menyatakan di setiap hari raya ( terutama I’edul Fitri ) orang-orang yang mudik tidak pernah berkurang walaupun di masa krisis. Ini menunjukkan ikatan keluarga tetap memiliki akarnya di negri kaum muslimin. Beliau tidak mengingkari pada masyarakat muslim pun mulai terdapat erosi ikatan-ikatan keluarga. Hal-hal ini lah yang perlu mendapat perhatian dan diupayakan penaggulangannya secara sistematis dan simultan. Pada setiap keluarga kebiasaan mengenalkan silsilah keluarga perlu kembali dilaksanakan. Kalu perlu dibuatkan skema silsilah keluarga tersebut, lengkapa dengan foto dan riwayat hidup singkatnya. Ini agar mereka bisa saling mengenal-walau belum pernah bertemu. Semakin kenal mereka bisa semakin saling menyayangi dan mengerti kewajibannya. Arisan keluarga juga masih sering dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Hanya kurang optimal. Sering kali arisan keluarga hanya menjadi ajang pamer kekayaan, pamer makanan dan sejenisnya. Seharusnya bisa dilakukan-hal;-hal lain yang lebih positif, misalnya dengan mengadakan pengajian rutin. Kotak infaq, zakat dan shodaqoh.Yang semuanya bisa dimanfaatkan guna keperluan bersama tersebut. Bukankah Allah SWT telah memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa serta melarang kita untuk saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Selanjutnya Ustadz yang juga aktif mengembangkan dakwah di Jombang ini mengomentari krisis ekonomi yang terjadi belakangan ini. Menurut beliau, krisi-krisi yang terjadi lebih banyak disebabkan lemahnya sistem ekonomi kapitalisme yang banyak dianut dan diterapkan oleh negara-negara berkembang--termasuk negara kaum muslimin. Kapitalisme dengan teori " tetesan rejekinya " teryata tidak mampu mendistribusika kekayaan secara merata. Kekayaan akhirnya hanya terakumulasi pada si pemilik modal. Ini sudah pola dari kapitalisme, yang membebaskan setiap orang bersaing secara , Free Fight Economi. Sedangkan sistem ekonomi sosialis yang tidak mengenal kepemilikan individu, melainkan semua adalah milik negara, lebih parah lagi. Sistem ekonomi ini tidak sesuai dengan fitrahj manusia. Karena pada hakikatnya semua orang memiliki kecenderungan untuk memiliki. Apabila ini dikekang maka mereka akan memberontak . Itulah yang terjadi di negari-negri komunis/sosialis. Kita masih ingat bagaimana rakyat Rumania yang dipaksa bermiskin-miskin akhirnya menyerang istana presidennya dan menemukan simbol-simbol kekayaan kapitalisme terdapat di rumah sang presiden. Sungguh ironis. Berbeda senua dengan itu, Islam sebagai sebuah sistem memiliki keungggulan karena sistemnya berasal dari Allah SWT, Sang Pencipta. Melalui wahyu, sistem ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan beliau terapkan untuk pertama kalinya. Sistem ini terbukti sukse dan berlangsung cukup lama--sekitar 14 abad--sebelum keruntuhan sistem tersebut di Turki ( 1924 ). Berarti secara konsep dan empiris sistem Islam handal dan terbukti. Termasuk dalam sistem ekonomi dan sosialnya. Hanya di masa pemerintahan Islam lah, menurut beliau, harta zakat itu tidak ada lagi yang berhak menerimanya ( di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz--red ) Ini membuktikan tidak ada lagi masyarakat yang hidup d I bawah garis kemiskinan. Semua sudah makmur dan berkecukupan. Coba kita bandingkan dengan kondisi saat ini. Dimana pun. Bahkan menurut laporan pembangunan dunia, hasil pembangunan saat ini malah memiskinkan lebih banyak orang. Lalu mengapa orang masih mau saja menggunakan sistem yang sudah jelas-jelas kropos dan tidak baik itu. Di sinilah yang tidak bisa dimengarti--ujar Ustadz yang juga menguasai ketrampilan ilmu komputer ini. Diakhir wawancara, beliau akhirnya hanya bisa berharap bahwa kaum muslimin akan segera cepat mengerti akan kemuliaan dan keutamaan di atas umat yang lain. Mereka adalah umat yang terbaik. Ini yang harus diyakini terlebih dahulu. Agar siap mensejahterakan dunia, apabila mereka nanti diberi kesempatan, begitu beliau mengakhiri wawancaranya.